“Biarpun preman, hati kami tetap pink”: Catatan dari Kampung Seng

Sore itu di pinggiran Kota Blitar, warga Kampung Seng sibuk di pinggiran sungai. Sambil membawa jaring, galah dan alat-alat lainnya, mereka memungut plastik dan sampah yang terbawa derasnya Kali Lahar. Bagi sebagian orang, arus deras ini cukup mengerikan karena bisa jadi pertanda akan datangnya banjir, akan tetapi bagi warga Kampung Seng, derasnya arus sungai sore itu adalah berkah. Sampah yang mereka pungut bias dijual ke pengepul keesokan harinya.

Beberapa cerita yang saya dapatkan selama Saya di Blitar cukup menggambarkan bagaimana warga kota ini memandang Kampung Seng. Cerita pertama yang Saya dengar berasal dari Anton. Ia menceritakan tentang temannya yang kehilangan seeda motor ketika di parkir di halaman sebuah toko di pusat kota. Seperti umumnya orang yang kehilangan, ia pun melapor ke kantor polisi. Tanggapan ” ala kadarnya” pun ia terima dari petugas yang menerima laporannya. Kemudian seorang teman menyarankannya untuk mencari informasi ke Kampung Seng, tempat yang menjadi “markas” bagi banyak bromocorah di Kota Blitar. Benar saja, motornya dapat kembali selang beberapa hari setelah bertemu dengan “penguasa” kampung seng. Beberapa cerita serupa tentang kampung seng juga kudapatkan selama tiga minggu keberadaan Saya menjadi fasilitator  Sekolah Film Multikultural yang diadakan oleh Desantara di Kota Blitar. Bagi warga kota yang dikenal dengan makam Bung Karno ini, Kampung Seng cukup dikenal sebagai kampong preman dengan segala cerita kriminal dan amoralnya.

Cerita-cerita tentang kampung bromocorah ini dipahami benar oleh Lukman dan Anton, dua orang peserta Sekolah Film Multikultural yang akan membuat film dokumenter mengenai kampung yang terletak di bagian selatan kota Blitar ini. Sambil mencoba meredam rasa takut dan khawatir, mereka mencoba menelusuri apa yang ada di Kampung Seng. Berbekal dua buah handycam dan informasi yang seadanya, mereka memasuki kampung yang dikenal sebagai daerah yang paling rawan di Kota Blitar.

Setelah hari pertama “hanya” bertemu dengan anak-anak kecil di pinggiran kampung, kali ini mereka bertemu dengan Slamet, ia menjadi juru parkir di sekitar klenteng dekat Pasar Legi. Setelah berkenalan dan “ritual” basa basi, Slamet mengantarkan keduanya ke tempat sesepuh Kampung Seng. Namanya Pak Parjan.

Sebungkus rokok mengawali perkenalan Anton dan Lukman dengan Pak Parjan di rumah kecilnya. Pria tua yang masih tampak gagah ini bercerita dengan runtut tentang asal usul Kampung Seng. Dulu, sebelum tahun 1965 pasar Legi merupakan pasar hewan atau yang biasa disebut dengan pasar Sapi. Selain digunakan untuk berdagangkampung ini merupakan tanah pemerintah yang digunakan oleh para pekerja kasar , pada malam hari pasar ini digunakan untuk bermalam para gelandangan atau pekerja yang tak memiliki tempat tinggal, atau dalam istilah Jawa disebut bambung (baca: mbambung).

Pasca persitiwa 1965, Blitar menjadi sebuah kota yang begitu menakutkan dengan mencoloknya represi militer dengan mengatasnamakan stabilitas politik. Bahkan oleh seorang wartawan kompas yang menulis pada tahun 1970-an disebut sebagai kota “karantina politik”. Berbagai usaha dilakukan untuk “membersihkan” kota dari anasir-anasir kiri, salah satunya dengan “membina” mereka yang potensial membuat keonaran, entah atas nama ideologi maupun desakan ekonomi. Salah satu komunitas yang “dibina” adalah orang-orang bambung yang berada di pasar Sapi. Pemerintah kota saat itu menginstruksikan mereka untuk menempati rumah tembok besar yang beratap seng. Sejak itulah kampung ini dijuluki Kampung Seng.

Mayoritas penduduk Kampung Seng bekerja sebagai pemulung, tukang parkir dan buruh kasar di Pasar Legi. Mereka yang tidak masuk dalam kategori salah satu jenis pekerjaan ini memilih menjadi tenaga keamanan swasta atau melakukan pekerjaan “abu-abu” lainnya. Tak jarang mereka juga menjadi tenaga bayaran untuk mengamankan agenda partai politik maupun konglomerat lokal. Sektor informasl seperti pemulung dan kuli pasar menjadi tulang punggung mereka. Tak jarang mereka juga terlibat kasus-kasus kriminal seperti pencurian dan perampokan.

Dalam pandangan kosmologi Jawa, terdapat dua dunia di mana tempat orang-orang menjalani hidup. Dunia tempat berjalannya ketentuan dan aturan kolektif masyarakat yang menjunjung tatan nilai penghormatan disebut alam padhang atau dunia terang. Dunia terang ini adalah tempat orang-orang biasa atau orang Jawa pada umumnya yang menghidupi diri dengan bertani, berdagang, atau menjadi pegawai negara. Di luar kedua pekerjaan ini adalah adalah tindakan-tindakan nerak pranatan yang berarti menolak ketentuan dan aturan kolektif. Orang-orang yang menolak ketentuan dan aturan kolektif ini dianggap berada di alam peteng atau dunia gelap (Suhartono 1995: 98).

Preman menempati ruang bebas antara dua dunia ini dengan menjual jasa keamanan bagi bisnis halal sekaligus juga mengorganisir praktik-praktik kriminal dan bisnis gelap. Pasar yang merupakan pusat kegiatan ekonomi menjadi area nyaman bagi banyak preman. Bisnis keamanan dan perniagaan kelas pinggiran mereka kuasai  dengan memanfaatkan jaringan preman yang mengandalkan kekuatan fisik dan intimidasi. Mereka hidup membaur dengan warga yang menjadi pekerja di sektor informal pinggiran. Orde Baru pernah memasukkah kelompok ini sebagai kelompok pengacau yang harus disingkirkan dengan sebuah operasi khusus, petrus.

Pekerja di Kampung Seng mengalami perubahan status pekerjaan, dari yang semula buruh kasar menjadi tukang parkir atau pemulung dan lain-lain. Selain dinamisnya jenis pekerjaan yang digeluti, tingkat migrasi di kampung ini juga termasuk tinggi. Menurut Heny, salah seorang petugas sensus yang bertugas di daerah itu, hampir di tiap rumah di kampung ini selalu terdapat penduduk musiman bahkan di beberapa rumah terjadi pergantian penghuni untuk setiap minggunya. Situasi ini membuat warga kampung berinisiatif untuk membuat sebuah balai yang digunakan sebagai rumah singgah bagi pemulung, gelandangan atau “kolega” yang tak memiliki tempat tinggal di Blitar. “Ya mereka kan sama dengan kita mas, jadi ya kita tolong,” kata Slamet. Ironisnya sisi lain dari kampung preman yang terkenal angker ini tak pernah terdengar, seakan tenggelam dalam stigma negatif yang dilekatkan kepada mereka.

Stigma yang disematkan kepada warga kampung yang masuk dalam wilayah Kelurahan Sukorejo ini membuat para pemuda usia kerjanya tak lagi berharap mendapatkan pekerjaan di kantoran, apalagi menjadi PNS. Mereka kerap harus terdepak dari proses kualifikasi karena perusahaan atau kantor yang mereka tuju tak mau ambil resiko mempekerjakan warga Kampung Seng. Situasi ini membuat mereka bersiasat dengan mengganti alamat tinggal ketika ingin melamar pekerjaan.

Menghadapi kondisi yang semakin sulit ini warga kampung berlatih untuk mandiri semenjak kecil. Terlihat anak-anak kecil usia sekolah mulai memungut sisa sayur atau bumbu dapur di pasar untuk menghemat pengluaran dapur, lalu, beberapa tahun kemudian  mereka beralih menjadi pemulung, dan selanjutnya menjadi tukang parkir atau buruh kasar. “Orang-orang itu sudah menganggap kami buruk, padahal kami juga manusia. Biarpun preman, hati kami tetap pink.” Kata Zainuri sambil mengacungkan dua jarinya membentuk huruf V.


Sebuah Pesantren tanpa Gus: Catatan dari Blitar

Pada sebuah sore di pinggiran Kota Blitar, aku dan teman dari Forum Lenteng, Adel, berbincang dengan Mustar Lubby, pengasuh pondok pesantren Bustanul Muta’allimin tentang persiapan Sekolah Film Multikultural. Adel memulai obrolan dengan gaya Jakartanya “Jadi begini Mas, kita mau ngadain pelatihan film bla bla bla….”. Saya tersenyum geli ketika Adel menyebut kata “Mas” untuk memanggil anak dari seorang Kyai yang “seharusnya” dipanggil dengan sebutan Gus. Selesai obrolan dengan si “mas” ini, dengan mimik muka serius dan sok tahu, kujelaskan pada temanku ini tentang bagaimana etika berbicara dengan anak kyai.

Selang beberapa hari selama mengikuti kegiatan Sekolah Film multikultural di pesantren ini, Mas Lubby, anak dari KH Ahmad Chalim Zahid menjelaskan bahwa di pondok yang dipimpin oleh abahnya ini memang tidak ada panggilan Gus atau Ning bagi anak Kyai. Santri yang mondok di pesantren ini dibiasakan untuk memanggil mereka dengan panggilan Mas atau Mbak saja.  Menarik bagi saya untuk melihat tidak adanya tradisi sebutan Gus di pesantren ini.

Tradisi sebutan Gus di pesantren, tak lepas dari keberadaan kyai sebagai salah satu faktor penting eksistensi sebuah pesantren. Kyai menjadi figure sentral yang membuat para santri tertarik untuk nyantri di pesantren yang didirikannya. Dengan memusatkan kegiatan pada mushola atau langgar yang dekat dengan tempat tinggalnya, seorang Kyai kemudian membangun system pesantrennya. Dalam sebuah tulisannya, Gus Dur menjelaskan bagaimana kepatuhan seorang santri kepada kyai menjadi sedemikian besar karena dengan perantara kyai inilah seorang santri mampu menemukan jalan keselamatan dunia dan akhirat. Santri yang ngangsu kawruh kepada kyai kemudian bertempat tinggal di pemondokan yang di bangun belakangan untuk menampung santri yang semakin banyak.

Pesantren kemudian menciptakan kulturnya sendiri dengan bertumpu pada interaksi antara keluarga kyai, pesantren dan santri. Pesantren dengan segala ritual dan kajiannya menempatkan waktu shalat sebagai patokannya, misalnya ketika berjanji ketemu dengan seseorang mereka biasanya mengatakan sebelum atau sesudah waktu shalat, misalnya setelah dhuhur atau setelah isya. Waktu dalam lingkungan pesantren dimampatkan dan terintegrasikan dalam praktek ritual ibadah yang menjadi kewajiban penghuni pesantren. Selain siklus waktu yang berbeda, kultur pesantren mengajarkan kepada para santri untuk mendapatkan tidak hanya sekedar ilmu tetapi juga restu (barokah) dari Kyainya. Salah satu caranya adalah dengan mencintai anggota keluarga Kyai. Inilah yang kemudian memunculkan sebutan tertentu berdasarkan otoritas keagamaan kepada anggota keluarga kyai. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, mereka memberi penghormatan dengan menyebut anak kyai dengan panggilan Gus untuk anak laki-laki dan Ning untuk anak perempuan.

Lalu apa yang membuat tradisi Gus ini dihilangkan dari Pondok Pesantren Bustanul Muta’alimin? Untuk pesantren yang telah berumur lebih dari satu abad, sepertinya panggilan Gus atau Ning akan sangatlah wajar. Akan tetapi lain hal yang dipikirkan oleh Mas Lubby. Menurutnya panggilan ini merupakan bentuk penghormatan santri kepada kyainya dan bukan pada kemampuan personal seorang Gus atau Ning.  Oleh karena itu konsep ini jelas tidak secara otomatis menempatkan posisi Gus atau Ning sebagai seorang alim karena runutan kesalehannya berasal dari orang lain alias dari orang tua mereka. Menurutnya, mengganti sebutan Gus dengan panggilan Mas dimaksudkan agar tidak tercipta jarak yang terlalu jauh antara santri dan anak-anak Kyai karena seyogyanya mereka memiliki hak yang sama ketika berhubungan dengan pesantren. Semangat untuk membangun kultur demokrasi di pesantren menjadi satu cerita tersendiri dalam sebuah institusi yang selama ini dianggap tidak demokratis karena dominannya peran kyai.

Berubahnya  sebutan Gus dengan sebutan Mas yang lebih egaliter ini membuat pesantren ini berbeda dengan pesantren yang lain. Apakah ini menandakan terjadinya transformasi pesantren yang telah ada jauh sebelum masa kemerdekaan ini?  Menilik sepak terjang pesantren merespon situasi zaman, bisa jadi ini menjadi satu bagian dari transformasi yang terjadi. Sejak masa colonial hingga geger pembantaian PKI, pesantren ini selalu mengambil peran penting dalam konteks Blitar. Begitu juga ketika Gus Dur menggelontorkan ide rekonsiliasi dengan eks-PKI, pesantren ini juga menjadi tempat pertama di Blitar yang mengadakan kegiatan bersama dengan eks tapol/napol. Kelenturan pesantren dalam membaca situasi menjadikanya mampu bertahan dan terus melahirkan pemikiran-pemikiran yang kontekstual dengan tidak meninggalkan filosofi khas pesantren.


Hello world!

Welcome to WordPress.com. After you read this, you should delete and write your own post, with a new title above. Or hit Add New on the left (of the admin dashboard) to start a fresh post.

Here are some suggestions for your first post.

  1. You can find new ideas for what to blog about by reading the Daily Post.
  2. Add PressThis to your browser. It creates a new blog post for you about any interesting  page you read on the web.
  3. Make some changes to this page, and then hit preview on the right. You can alway preview any post or edit you before you share it to the world.